Sawit yang Merusak Penghidupan Masyarakat Dayak Jalai
KONSEP pasar bebas yang dikembangkan ’Mafia Berkeley’ imbasnya terasa hingga ke pelosok kampung. Pasar bebas atau kapitalisme diterjemahkan oleh pengambil kebijakan dan pengusaha di antaranya dengan membuka lahan sawit seluas-luasnya. Hutan yang dulu ’supermarket’ bagi warga sekitar kini ’gulung tikar’. Sejauh mata memandang hanya hamparan pohon sawit yang berjejer rapi.
Sejahtera kah masyarakat dengan konsep itu? Secara materi atau uang cash jawabannya mungkin ya. Namun banyak sektor lain yang lebih berharga justru dihancurkan, di antaranya lingkungan bahkan situs-situs budaya nenek moyang. Pohon-pohon besar dan kecil yang selama ini menjadi penahan air dan penghasil oksigen untuk kebutuhan manusia dan hewan dibabat habis. Pohon-pohon tembawang (tanaman kayu keras) juga bertumbangan dihantam chainsaw, digusur traktor.
Saat itu, para Mafia Berkeley, ekonom yang membangun struktur ekonomi rezim Soeharto sejak 1990-an mungkin tak pernah memikirkan akibatnya. Lulusan Universitas Berkeley, Amerika Serikat yang terdiri dari Widjojo Nititsastro, M Sadli, Subroto JB Sumarlin, Suhadi Mangkusuwondo, Adrianus Mooy, Ali Wardhana, Suhadi Mangkusuwondo, Emil Salim, Radius Prawiro dan Saleh Afif, yakin jika ekonomi kapitalisme lah jalan keluarnya.
Budaya dan pranata sosial juga turut berubah secara drastis. Jika sebelumnya masyarakat terbiasa dengan mengambil dari hutan atau menoreh getah, kini harus bekerja di perkebunan sawit. Jika sebelumnya masyarakat tuan di tanah sendiri, kini menjadi kuli di tanah sendiri.
Tanah masyarakat dipatok dan digarap oleh pemilik Hak Guna Usaha (HGU). Pembagian hasil perkebunan pun terasa tak adil, masyarakat yang note bane pemilik lahan hanya mendapat 2,5 Ha dari 10 Ha yang dimiliki, sisanya tentu saja menjadi milik perkebunan sawit.
Akibatnya, konflik antara perusahaan dan masyarakat adat pun terjadi. Misalnya sejak PT Harapan Sawit Lestari (HSL) masuk di kecamatan Manismata khususnya di desa Bariem telah menimbulkan permasalahan (konflik) di dalam masyarakat adat. Konflik itu baik horizontal, antara masyarakat yang mendukung dan yang menolak serta konflik vertikal dengan aparat pemerintah.
Walhi Kalbar mencatat pernah terjadi konflik antara masyarakat adat dengan PT HSL. Tahun 1993-1994 terjadi konflik karena pencemaran air oleh perkebunan sawit. Tahun 2003 juga terjadi banjir yang mengakibatkan kerugian bagi masyarakat adat serta dampak negatif lainnya. Sedangkan tahun 2.000 terjadi intimidasi dan penyitaan senjata api milik masyarakat adat.
Mungkin, karena hasil penelitian, buku ini juga menyajikan banyak sekali data-data perbandingan antara keuntungan secara ekonomi tanaman sawit dan tanaman lain yang akrab dengan masyarakat adat. Seperti padi, kelapa, buah-buahan, karet dan sebagainya.
Buku yang diterbitkan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Eksekutif Daerah Kalimantan Barat ini, mengupas habis keuntungan dan kerugian perkebunan sawit bagi masyarakat Dayak Jalai. Observasi dan penelitian dilakukan di Kecamatan Manismata Kabupaten Bengkayang yang merupakan ’habitat’ masyarakat Dayak Jalai. Kecamatan tersebut meliputi 5 kampung; Beriam, Bagan Kusik, Kelai, Asam Besar, Sungai Bukuh Kiri.
Yohanes RJ – kala itu direktur Walhi Kalbar – bersama teman-temannya, diantaranya: Nur Hidayat, Niko, Shaban Stiawan, Thomas Dalimen serta dibantu masyarakat Nursita, Sahroi dan Ayan melakukan penelitian langsung di lapangan. Penelitian – dan itu juga yang ditulis di buku ini – menitikberatkan kepada ekonomi dan ekologi sumber daya alam yang hilang akibat alih fungsi menjadi perkebunan sawit.
Buku ini menggambarkan kepada kita pengurasan sumber-sumber penghidupan masyarakat adat Dayak Jalai-Ketapang oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit, terutama oleh PT Harapan Sawit Lestari. Pola yang diterapkan oleh perusahaan telah menjebak masyarakat ke dalam hutang jangka panjang. Karena dengan pola kemitraan Kredit Koperasi Primer Anggota (KKPA) masyarakat yang ingin memperoleh lahannya harus masuk ke dalam struktur koperasi. Setiap masyarakat yang memiliki kebun sawit terus menanggung beban kredit bank dan menjual tandan buah segar (TDS) sawit kepada perusahaan. Kondisi ini menempatkan masyarakat sebagai pekerja atau kuli karena tidak memiliki otoritas untuk menentukan harga dan mengontrol hasil panen sawit. Termasuklah menurunnya kualitas ekologi dan sumber daya alam serta mengubah masyarakat menjadi konsumtif. Ironisnya, perilaku konsumtif ini mendorong masyarakat berutang dan menjual tanah milik mereka yang selama ini menjadi sumber penghasilan.
Di sisi lain, masyarakat mulai sadar atas pemiskinan sistematis itu. Mereka mulai melakukan perjuangan untuk mendapatkan kembali hak-hak atas tanah atau lahan mereka. Satu bukti yang meruntuhkan stigma para ’pejuang’ di tempat lain selama ini. Mereka menilai jika kultur perlawanan di Borneo Barat lemah. Ini kah awal kebangkitan perlawanan itu? Mungkin saja. Dan, sawit lah pemicunya.
KONSEP pasar bebas yang dikembangkan ’Mafia Berkeley’ imbasnya terasa hingga ke pelosok kampung. Pasar bebas atau kapitalisme diterjemahkan oleh pengambil kebijakan dan pengusaha di antaranya dengan membuka lahan sawit seluas-luasnya. Hutan yang dulu ’supermarket’ bagi warga sekitar kini ’gulung tikar’. Sejauh mata memandang hanya hamparan pohon sawit yang berjejer rapi.
Sejahtera kah masyarakat dengan konsep itu? Secara materi atau uang cash jawabannya mungkin ya. Namun banyak sektor lain yang lebih berharga justru dihancurkan, di antaranya lingkungan bahkan situs-situs budaya nenek moyang. Pohon-pohon besar dan kecil yang selama ini menjadi penahan air dan penghasil oksigen untuk kebutuhan manusia dan hewan dibabat habis. Pohon-pohon tembawang (tanaman kayu keras) juga bertumbangan dihantam chainsaw, digusur traktor.
Saat itu, para Mafia Berkeley, ekonom yang membangun struktur ekonomi rezim Soeharto sejak 1990-an mungkin tak pernah memikirkan akibatnya. Lulusan Universitas Berkeley, Amerika Serikat yang terdiri dari Widjojo Nititsastro, M Sadli, Subroto JB Sumarlin, Suhadi Mangkusuwondo, Adrianus Mooy, Ali Wardhana, Suhadi Mangkusuwondo, Emil Salim, Radius Prawiro dan Saleh Afif, yakin jika ekonomi kapitalisme lah jalan keluarnya.
Budaya dan pranata sosial juga turut berubah secara drastis. Jika sebelumnya masyarakat terbiasa dengan mengambil dari hutan atau menoreh getah, kini harus bekerja di perkebunan sawit. Jika sebelumnya masyarakat tuan di tanah sendiri, kini menjadi kuli di tanah sendiri.
Tanah masyarakat dipatok dan digarap oleh pemilik Hak Guna Usaha (HGU). Pembagian hasil perkebunan pun terasa tak adil, masyarakat yang note bane pemilik lahan hanya mendapat 2,5 Ha dari 10 Ha yang dimiliki, sisanya tentu saja menjadi milik perkebunan sawit.
Akibatnya, konflik antara perusahaan dan masyarakat adat pun terjadi. Misalnya sejak PT Harapan Sawit Lestari (HSL) masuk di kecamatan Manismata khususnya di desa Bariem telah menimbulkan permasalahan (konflik) di dalam masyarakat adat. Konflik itu baik horizontal, antara masyarakat yang mendukung dan yang menolak serta konflik vertikal dengan aparat pemerintah.
Walhi Kalbar mencatat pernah terjadi konflik antara masyarakat adat dengan PT HSL. Tahun 1993-1994 terjadi konflik karena pencemaran air oleh perkebunan sawit. Tahun 2003 juga terjadi banjir yang mengakibatkan kerugian bagi masyarakat adat serta dampak negatif lainnya. Sedangkan tahun 2.000 terjadi intimidasi dan penyitaan senjata api milik masyarakat adat.
Mungkin, karena hasil penelitian, buku ini juga menyajikan banyak sekali data-data perbandingan antara keuntungan secara ekonomi tanaman sawit dan tanaman lain yang akrab dengan masyarakat adat. Seperti padi, kelapa, buah-buahan, karet dan sebagainya.
Buku yang diterbitkan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Eksekutif Daerah Kalimantan Barat ini, mengupas habis keuntungan dan kerugian perkebunan sawit bagi masyarakat Dayak Jalai. Observasi dan penelitian dilakukan di Kecamatan Manismata Kabupaten Bengkayang yang merupakan ’habitat’ masyarakat Dayak Jalai. Kecamatan tersebut meliputi 5 kampung; Beriam, Bagan Kusik, Kelai, Asam Besar, Sungai Bukuh Kiri.
Yohanes RJ – kala itu direktur Walhi Kalbar – bersama teman-temannya, diantaranya: Nur Hidayat, Niko, Shaban Stiawan, Thomas Dalimen serta dibantu masyarakat Nursita, Sahroi dan Ayan melakukan penelitian langsung di lapangan. Penelitian – dan itu juga yang ditulis di buku ini – menitikberatkan kepada ekonomi dan ekologi sumber daya alam yang hilang akibat alih fungsi menjadi perkebunan sawit.
Buku ini menggambarkan kepada kita pengurasan sumber-sumber penghidupan masyarakat adat Dayak Jalai-Ketapang oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit, terutama oleh PT Harapan Sawit Lestari. Pola yang diterapkan oleh perusahaan telah menjebak masyarakat ke dalam hutang jangka panjang. Karena dengan pola kemitraan Kredit Koperasi Primer Anggota (KKPA) masyarakat yang ingin memperoleh lahannya harus masuk ke dalam struktur koperasi. Setiap masyarakat yang memiliki kebun sawit terus menanggung beban kredit bank dan menjual tandan buah segar (TDS) sawit kepada perusahaan. Kondisi ini menempatkan masyarakat sebagai pekerja atau kuli karena tidak memiliki otoritas untuk menentukan harga dan mengontrol hasil panen sawit. Termasuklah menurunnya kualitas ekologi dan sumber daya alam serta mengubah masyarakat menjadi konsumtif. Ironisnya, perilaku konsumtif ini mendorong masyarakat berutang dan menjual tanah milik mereka yang selama ini menjadi sumber penghasilan.
Di sisi lain, masyarakat mulai sadar atas pemiskinan sistematis itu. Mereka mulai melakukan perjuangan untuk mendapatkan kembali hak-hak atas tanah atau lahan mereka. Satu bukti yang meruntuhkan stigma para ’pejuang’ di tempat lain selama ini. Mereka menilai jika kultur perlawanan di Borneo Barat lemah. Ini kah awal kebangkitan perlawanan itu? Mungkin saja. Dan, sawit lah pemicunya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar