Seorang ilmuwan asing pernah bilang bahwa nasib orang Dayak adalah dijajah, bukan memerintah. Itu kata Van Linden, seorang antropolog kolonial kelahiran Belanda.
Catatan serupa juga dibuat oleh Magenda (1991), yang kurang lebih melukiskan betapa orang Dayak selama berabad-abad mengalami marjinalisasi dalam skala yang sangat luas baik oleh kekuatan politik lokal, nasional, maupun kolonial. Citra populernya sebagai kelompok yang “terbelakang”, “primitif” dan “liar” semakin memperparah marjinalisasi politik, ekonomi, dan budaya yang mereka derita.
Barangkali kesan atau nasib semacam itu belakangan ini tak nampak lagi. Di mana-mana, di Kalimantan Timur, dan mungkin di bagian lain pulau Borneo ini, Dayak telah menjadi salah satu ikon utama budaya daerah. Beragam artefak dan penanda kultural Dayak bisa kita saksikan hampir di berbagai tempat mendominasi wajah dunia perkotaan.
Coba cermati berbagai gedung dan bangunan fasilitas publik di kota Samarinda dan Balikpapan, seperti gedung pemerintahan, perguruan tinggi, bangunan pasar, dan bandar udara di sana. Ornamen-ornamen khas Dayak menghiasi hampir semua bangunan. Ukir-ukiran, lukisan dan patung-patung, bahkan rumah jabatan (pendopo) Gubernur Kalimantan Timur menggunakan nama lamin etam sebagai sebutan istimewanya. Selain itu lihat pula di pasar-pasar kota. Mudah sekali ditemukan pernik-pernik, souvenir seperti gantungan kunci, tas, patung dan lainnya yang berornamen Dayak dijual bebas.
Semua gambaran tentang modernitas dan kemajuan itu justeru hadir bersamaan dengan menyoloknya citra etnik Dayak yang tradisional dan dulu dicitrakan primitif itu.
Sebagai generasi muda dayak yang juga generasi bangsa tentu penulis merasa bangga karena sedikit banyak persepsi orang yang menyimpang dari realitas kehidupan masyarakat dayak jauh dari kenyataan yang dialami oleh masyarakat dayak. Namun apakah benar bahwa masyarakat dayak yang berada di daerah-daerah lainnya (kalbar, kalteng, kalsel) sudah seperti dayak di kaltim? Pertanyaan tersebut, merupak tanggungjawab kita bersama (masyarakat dayak) karena penulis merasa masih banyak masalah yang dihadapi oleh masyarakat dayak di daerah kalimantan lainnnya. Yang menjadi masalah adalah mengapa orang dayak di kalbar, kalteng dan kalsel tidak bisa melakukan apa yang dilakukan oleh orang dayak di kaltim? Ada banyak kesan yang penulis dengar baik dalam beberapa situasi yang berbeda yang mengatakan bahwa orang dayak masih terbelakang dll. Pertanyaan saya apakah kita mau menerima persepsi tersebut selamanya? jika kita semua tidak menginginkan persepsi itu tummbuh dalam masyarakat dayak, mengapa kita sendiri tidak berusaha membangun kehidupan masyarakat dayak lebih baik dari citra-citra negatif sekarang? apakah kita hanya diam? saya rasa sebagai generasi muda bukan saatnya bagi kita untukberpangku tangan pada jaman yang serba cepat seperti ini, karena jika kita hanya mengandalkan esok atau besok kita akan jauh tertinggal dan kita akan selamanya menjadi buntut yang hanya bisa mengetahui masalahnya akan tetapi tidak pernah berusaha menyelesaikan masalah yang kita hadapi selama ini. Ada banyak yang harus kita perjuangkan, yang harus kita benahi. Untuk itu penulis sangat berharap agar generasi muda dayak bangun dan bangkit untuk membangun kebersamaan dalam kontek NKRI. Karena jika sesama dayak/orang dayak saja tidak akur, penulis tidak tahu apa jadinya generasi dayak pada masa yang akan datang. Untuk itu jangan pernah berharap banyak utuk maju jika kita sendiri tidak bisa untukmelakukan perubhan-perubahan bahkan dalam hal terkecil sekalipun. Segeralah lakukan perubahan baik dalam hal bertindak maupun dalam hal organisasi dan banyak kegiatan lain yang dapat membangun masyarakat dayak. Jangan melihat sebuah kemunduran/kesalahan sebagai patokan melainkan jadikanlah masalah tersebut sebagai gabrakan buat kita maju dan berkembang, karena selama kita hanya bisa melihat kebelakang tanpa melakukan perubahan untuk maju kita (orang dayak) selamanya akan tertinggal dan itu bukan cita-cita pendahulu kita. Nenek moyang kita tidak pernah mengajarkan kepada kita untuk jauh lebih bodoh atau kolot, karena itu mereka selalu berpesan " berani karena benar, takut karena salah" maka selama kita melakukan sebuah kebenaran, jangan pernah takut karena kesalahan sekalipun ada jalan penyelesaiannya. Apakah dengan cara meminta maaf atau dengan memperbaiki sendiri kesalahan kita, maka saya yakin dengan demikian masyarakat dayak akan jadi masyarakat yang besar dan tidak akan menjadi budak di tanahnya sendiri.
Suatu kehormatan dan prestasi buat penulis jika masyarakat dayak dapat bersaing maju dalam kancah politik dalammembangun negara ini, misalnya denganmenjadi bupati atau gubernur di daerahnya sendiri minimal. Untuk itu buat penulis, tidak ada alasan buat kita untuk "tidak mampu". Mari kita lihat bersama tokoh dayak yang berprestasi seperti pendahulu kita (ernes narang, djilik riyut, cornelis-gubernur kalbar sekarang) dan tokoh-tokoh dayak lainnya yang mempunyai jiwa yang besar buat bangsa ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar