Marginalisasi Dayak
Sebenarnya "pembangunan" itu tidaklah menjadi persoalan, seandainya orang Dayak sebagai penduduk asli memperoleh keuntungan karena imbas "pembangunan", baik secara sosio-ekonomi maupun kemajuan dari segi sosio-kultural. Persoalannya adalah setelah lebih 30 tahun eksploatasi bumi Kalimantan, orang Dayak jangankan memperoleh keuntungan sosio-ekonomi, bahkan seperti diungkap para peneliti etnis Dayak =96 mengalami degradasi kehidupan sosio-kultural karena persentuhan dengan "dunia luar" tersebut, sehingga juga berakibat bagi memudarnya identitas kultural orang Dayak.
Sebenarnya "pembangunan" itu tidaklah menjadi persoalan, seandainya orang Dayak sebagai penduduk asli memperoleh keuntungan karena imbas "pembangunan", baik secara sosio-ekonomi maupun kemajuan dari segi sosio-kultural. Persoalannya adalah setelah lebih 30 tahun eksploatasi bumi Kalimantan, orang Dayak jangankan memperoleh keuntungan sosio-ekonomi, bahkan seperti diungkap para peneliti etnis Dayak =96 mengalami degradasi kehidupan sosio-kultural karena persentuhan dengan "dunia luar" tersebut, sehingga juga berakibat bagi memudarnya identitas kultural orang Dayak.
Orang Dayak, sebagai penduduk asli bumi Kalimantan, terpuruk, termarginalisasi. Dan ini terjadi secara sistematis. Seperti yang dialami orang Irian, orang Timor, orang Aceh, dan sebagainya, maka penanaman modal di bumi Kalimantan dimuluskan denga n prakondisi pasifikasi, yaitu terjadinya proses akulturasi budaya melalui penyeragaman birokrasi yang diinginkan pemerintah pusat. Penyeragaman birokrasi ini, bagi rezim Orba, menjadi penting karena dapat memuluskan kolaborasi investor asing dengan birok rat setempat dengan memininimalisasi kemungkinan protes atas keserakahan pemodal yang menghabiskan kekayaan alam bumi Kalimantan.
Protes sebagai sarana kontrol sosial adalah dimungkinkan, karena orang Dayak memiliki lembaga-lembaga adat yang memungkinkan untuk itu, seperti pada suku Dayak Ngaju Kalimantan Tengah yang memiliki lembaga adat kademangan yang bersifat kolateral, di mana model pemerintahan lokal demikian memungkinkan orang Dayak untuk saling bergantung, saling mengawasi dalam metode pembagian kekuasaan yang demokratis. Sistem yang demokratis dari lembaga informal ini menjadi rusak ketika institusi kademangan dan ketua ada t setempat dileburkan ke dalam penyeragaman struktur pemerintahan daerah model pemerintah pusat.
Tujuannya seperti disebutkan di atas untuk mengontrol aspirasi lokal dalam grand-design pendekatan keamanan (security approach). Terhadap kondisi yang dem ikian seorang pendeta Protestan Dayak berujar: "Tanpa pendekatan keamanan, Tanah Dayak sejakdulu pun sudah aman" (Dr JJ Kusni, Dayak Membangun=85,1994: 156). Memang orang Dayak bukan hanya termarginalisasi secara sosio-ekonomi, sosio-politik, dan sosio-kultural, bahkan juga terefleksikan dalam stereotip citra suku. Di Jawa misalnya, dalam permainan anak-anak di pedesaan, ada istilah "ndayak-ndayakan" di mana digambarkan seorang Dayak hitam legam, bertaring, berambut panjang, bercawat, dengan sosok menyeramkan, serta memakan daging mentah dan daging orang.
Tujuannya seperti disebutkan di atas untuk mengontrol aspirasi lokal dalam grand-design pendekatan keamanan (security approach). Terhadap kondisi yang dem ikian seorang pendeta Protestan Dayak berujar: "Tanpa pendekatan keamanan, Tanah Dayak sejakdulu pun sudah aman" (Dr JJ Kusni, Dayak Membangun=85,1994: 156). Memang orang Dayak bukan hanya termarginalisasi secara sosio-ekonomi, sosio-politik, dan sosio-kultural, bahkan juga terefleksikan dalam stereotip citra suku. Di Jawa misalnya, dalam permainan anak-anak di pedesaan, ada istilah "ndayak-ndayakan" di mana digambarkan seorang Dayak hitam legam, bertaring, berambut panjang, bercawat, dengan sosok menyeramkan, serta memakan daging mentah dan daging orang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar