”Saya tidak rela kalau hutan gambut Sungai Putri dibabat dan dijadikan perkebunan kelapa sawit. Hutan ini harus tetap lestari,” kata Darmadi (38), warga Desa Sungai Putri, Kecamatan Matan Hilir Utara, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, saat memandu masuk ke hutan tersebut.
Ungkapan Darmadi itu ekspresi dari kegelisahannya terhadap ancaman kerusakan lingkungan di hutan gambut Sungai Putri. Yang diungkapkan itu beralasan karena areal yang statusnya hutan produksi terbatas tersebut sempat diusulkan Pemerintah Kabupaten Ketapang untuk dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit.
Padahal, hutan itu merupakan benteng sumber air alami yang penting bagi ribuan warga di delapan desa sekitar Sungai Putri. Hutan yang terletak sekitar 40 kilometer utara Kota Ketapang itu juga merupakan habitat sekitar 500-900 orangutan (Pongo pygmaeus wurmbii), satwa Kalimantan yang dilindungi dan kini terancam punah.
Kawasan hutan ini juga memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi, antara lain 118 jenis burung, yang empat di antaranya jenis burung endemik. Satwa liar lain yang mudah dijumpai di sana adalah bekantan (Nasalis larvatus) dan lutung (Presbytis cristata).
Tanpa ada alih fungsi menjadi perkebunan sawit pun keberadaan hutan gambut Sungai Putri sudah rentan akan kerusakan. Saat menyusuri kawasan hutan itu, beberapa waktu lalu, dijumpai jalur pembalakan liar tradisional masyarakat sekitar.
Berbeda dengan di kawasan hutan perbukitan, di mana jalan-jalan tikus yang digunakan para penebang hutan memakai buldoser sehingga kendaraan truk pengangkut kayu bisa masuk, di hutan dataran rendah ini angkutan kayu yang paling tangguh justru memakai sepeda yang dirakit khusus atau disebut ”sepeda sambas” sehingga bisa mengangkat beberapa kayu olahan berbentuk balok.
Untuk membawa kayu dari hutan itu, para pekerja membuat rel dari kayu sehingga bisa dilewati ban sepeda. Rel kayu itu jauh masuk ke dalam hutan hingga belasan kilometer. Rel itu terus bertambah panjang dan bercabang-cabang sesuai dengan kemampuan para penebang mengambil kayu yang layak jual. Sementara para penebang kayu bertahan di dalam hutan dengan membawa bahan makanan, seperti beras, mi instan, minyak goreng, ikan asin, garam dan bumbu lainnya.
”Biasanya bertahan di hutan seminggu atau lebih,” kata Herman, warga Desa Sungai Putri, yang menyebutkan sepeda itu bisa mengangkut 5-6 batang kayu yang volumenya mencapai satu meter kubik.
Dari mereka itulah hampir setiap hari terdengar deru mesin chainsaw untuk menebang pohon, meraung memecah harmoni suara aneka satwa di hutan gambut tersebut. Padahal, pohon-pohon yang ditebang itu sangat dekat dengan sarang orangutan yang masih relatif baru. ”Orangutan lari ke tempat lain saat pohon di sekitar sarangnya ditebang,” kata Iis Sabahudin dari Forest Management Specialist Fauna Flora Indonesia (FFI) Program Ketapang.
Pembukaan lahan pertanian di sekitar hutan gambut itu juga menjadi ancaman serius. Penduduk setempat melakukan pembakaran dalam pembukaan lahan. Kini, tekanan yang paling hebat ialah pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit oleh sejumlah perusahaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar