Profil Panembahan "ATUK KAYAK"

Oleh : Marterinus, SH
Tidak terasa sudah 13 tahun berlalu kepergiannya. Akankah ia kembali? Jawabnya tidak, karena beliau (Alm. Maurum) kembali dalam arti yang sebenarnya. Semasa hidupnya, ia sangat gigih mempertahankan adat-istiadat di kampung halaman yang dipimpinnya bahkan terkesan “keras”, begitu kata anak cucu dan orang-orang yang seusia beliau mengenang. Bagi sebagian besar orang, Alm Maurum (cawat maurum ; kakek), merupakan sosok yang tegas, berwibawa dan “tak pandang bulu”. Bagi beliau, adat adalah jiwanya dan adat adalah kehidupannya, sehingga tidak ada alasan pembenaran satupun terhadap pelanggaran adat. Siapa yang bersalah harus di hukum (di beri sanksi) dan siapa yang melanggar adat harus membayar adat, tidak perduli apakah ia anak kecil, orang dewasa, keluarga miskin, keluarga kaya, anak maupun cucunya sendiri.

Bagi beliau (cawat Maurum), hukum adalah hukum dan keluarga adalah keluarga, sehingga tidak ada satupun kesalahan/pelanggaran adat dapat ditolerir dengan dalih yang melakukan kesalahan itu adalah anak cucunya atau karena alasan anak kecil, orang dewasa, orang tua, kaya dan miskin. Bagi beliau siapa yang bersalah/melanggar adat, maka ia harus membayar adat dan siapa yang membuat orang sakit maka ia juga harus bersedia menerima kalau disakiti. Oleh karena itu, beliau selalu berpesan, “jika tidak ingin disakiti jangan menyakiti dan jika tidak ingin dihukum jangan melanggar hukum” demikian selanjutnya. Bagi beliau ada sebab ada akibat demikian sebaliknya.

Namun semenjak meninggalnya beliau, hukum adat di desa beriam seolah “tidak bertaring”. Hukum tinggal hukum dan adat tinggal adat, sehingga berbagai pelanggaran adat terjadi hampir dalam setiap aspek kehidupan masyarakat adat beriam. Dari mulai pelanggaran berskala kecil sampai pelanggaran yang berskala besar, seperti pelanggaran hak-hak adat oleh pihak asing. Mereka (pihak asing) tidak lagi takut untuk menebang pohon sembarangan, meracunan ikan dengan tuba, membakar hutan adat bahkan melakukan pembakaran di areal tanah/patok/pancang yang sudah ada pemiliknya. Mereka tidak lagi takut akan hukum adat/sanksi adat dari kepala adat (temanggung & damung), bahkan terkesan melecehkan adat-istiadat yang berlaku dalam masyarakat adat tersebut.

Jika mereka dipanggil oleh tokoh-tokoh adat (temanggung, damung) dan beberapa tokoh masyarakat lainnya mereka menghindar dengan alasan sibuk dan punya kepentingan lainnya, sampai pada akhirnya para tokoh adat berhenti memanggil mereka. Adakalanya bahkan mereka yang mengajak para tokoh adat tersebut untuk bertemu melalui perwakilan, yang pada akhirnya berujung pada perdamaian dan perjanjian secara lisan, namun terkesan “lain dimulut lain dikelakuan”, artinya apa yang mereka suarakan pada saat itu tidak sama dengan tingkah laku/perbuatan mereka.


Sebagai warga dayak, saya sangat prihatin melihat situasi dan kondisi seperti ini. Dan saya sangat sedih melihat “Hukum Adat Dayak dipermainkan mereka”. Bahkan tokoh-tokoh adat dibuat “tidak berkutik”. Dari mulai tingkatan/hierarki tertinggi sampai yang terendah mereka buat tidak bisa berbuat apa-apa. Saya masih ingat, bagaimana saya dan abang saya (Hadian) sejak masih kecil sekitar kelas 3 SD dihukum kakek. Beliau menghukum kami, gara-gara kami berdua meracun ikan diselokan menuju pemandian. Kami berdua dihukum sebanyak tiga lasak atau setara 30.000,- pada saat itu (sekitar tahun 1988).

Dari pengalaman di atas, bisa kita bayangkan, bagaimana seorang kakek sendiri yang notabene adalah kakek kandung, seorang temanggung adat tega menghukum cucunya sendiri. Bisa dibayangkan, bagaiman tegasnya beliau dan kegigihan beliau mempertahankan adat/hukum adat dayak beriam. Beliau tidak pernah memandang siapa saya dan abang saya (cucu beliau sendiri), siapa ayah/ibu saya dan abang saya dan beliau tidak melihat karena saya dan abang saya adalah cucu beliau, jadi tidak perlu dihukum/diberi sanksi adat. Bagi saya, pengalaman ini sangat menarik dan berkesan karena belum pernah saya menemukan orang yang seperti beliau bahkan ayah saya sendiri.


Perbedaan antara ayah saya (Putra bungsu Alm. Kakek Maurum) dengan kakek sangat jelas terlihat. Hal ini dapat terlihat jelas, dimana “ayah saya lebih suka memberikan nasehat dan teguran jika saya melakukan kesalahan, tetapi kakek langsung menghukum saya, jika saya melakukan kesalahan, hal ini berlaku bagi semua warga masyarakat yang dilindunginya. Bagi kakek, maaf adalah harga yang “sangat mahal” sehingga untuk bisa mengatakan maaf maka orang yang melakukan kesalahan harus membayarnya dengan harga mahal juga (dalam kontek adat/adat jalan jamban titi). 

Baginya, maaf hanya akan dapat dihapus jika warga yang melakukan pelanggaran adat sudah membayar sanksi adat yang ia putuskan berdasarkan keputusan adat yang sudah menjadi ketetapan seluruh masyarakat adat dayak, khususnya adat dayak air durian (tanah tuha/tua).


Jika kita amati dan baca satu persatu kalimat demi kalimat di atas, sungguh sangat indah dan bermakna. Bermakna karena pengalaman hidup beliau yang selamanya akan dikenang dan selamanya akan jadi cermin bagi kita generasi dayak berikutnya, hingga terus dan terus berlanjut sampai kapanpun. Sebagai cucu beliau, tentu saya bangga punya seorang kakek yang tegas, berwibawa, taat menjalankan adat-istiadat dan berani mengambil tindakan yang tidak semua orang berani untuk melakukannya. Sebagai orang dayak, anda tentu bisa membayangkan bagaimana kehidupan masyarakat dayak kala itu. “Setetes darah yang tertumpah akan menumpakkan setetes darah dari yang menumpahkan juga dan semakin tegas kepemimpinan seseorang maka akan semakin sering juga orang mengelabuhinya dengan ilmu hitam, yang sekarang kita kenal dengan santet, guna-guna, ajimat dls.

Terlepas dari semua hal di atas, saya mau menekankan bahwa beliau (Almarhum Maurum) adalah sosok yang seharusnya kita jadikan panutan, yang seharusnya jadi cermin kita sebagai orang dayak, yang sharusnya jadi teladan kita dan “kita”(orang dayak sekarang/dayak modern) harus bangga punya tokoh dayak seperti beliau sekaligus MALU karena kita tidak bisa mempertahkan amanah leluhur kita untuk menjaga “Adat jalan jamban titi” kita sebagai orang dayak. Perlu anda ketahui, beliau adalah salah satu tokoh dayak yang tidak mau menggunakan gelar kebangsawanannya sebagai raja, karena ayah beliau adalah seorang panembahan/raja pada jaman Hindia Belanda. Beliau tidak mau melihat kami (anak cucu beliau) memakai gelar itu selama ia masih hidup. Karena beliau tidak mau kami ikut terpengaruh dengan sikab Ninik yang suka berperang dan selalu menyelesaikan masalah dengan kekuasaan Ninik.


Bagi beliau (Alm. Maurum/kakek), kepribadian Ninik (Ayah dari Almarhum) tidak boleh diwariskan, karena Ninik terkenal sadis dan tidak menyukai diplomasi/penyelesaian masalah dengan cara damai yang dapat merugikan Ninik (Almarhum Panembahan Atuk Kaya alias Atuk Bunsu alias Cawat Bungsu alias Anung alias Adau). Simpanlah semua ini sebagai pengetahuan anda dan sebagai sejarah bahwa “Maurum adalah Maurum bukan Adau, bukan Atuk Kaya, bukan Atuk Bunsu, bukan Cawat Bunsu yang menjabat sebagai Panembahan/Raja pada saat itu”.

Tidak ada komentar: